Sabtu, 20 Februari 2010

IJMA DAN QIYAS


Ijma' memiliki syarat-syarat, diantaranya :

1. Tetap melalui jalan yang shohih,

yaitu dengan kemasyhurannya dikalangan 'ulama atau yang menukilkannya adalah orang yang tsiqoh dan luas pengetahuannya.

2. Tidak didahului oleh khilaf yang telah tetap sebelumnya, j

ika didahului oleh hal itu maka bukanlah ijma' karena perkataan tidak batal dengan kematian yang mengucapkannya.

Maka ijma' tidak bisa membatalkan khilaf yang ada sebelumnya, akan tetapi ijma' bisa mencegah terjadinya khilaf. Ini merupakan pendapat yang rojih karena kuatnya pendalilannya.
Dan dikatakan : tidak disyaratkan yang demikian, maka bisa ditetapkan atas salah satu pendapat yang ada sebelumnya pada masa berikutnya, kemudian ia menjadi hujjah bagi ummat yang setelahnya. Dan menurut pendapat jumhur, tidak disyaratkan berlalunya zaman orang-orang yang bersepakat, maka ijma' ditetapkan dari ahlinya (mujtahidin) hanya dengan kesepakatan mereka (pada saat itu juga, pent) dan tidak boleh bagi mereka atau yang selain mereka menyelisihinya setelah itu, karena dalil-dalil yang menunjukkan bahwa ijma' adalah hujjah, tidak ada padanya pensyaratan berlalunya zaman terjadinya ijma' tersebut. Karena ijma' dihasilkan pada saat terjadinya kesepakatan mereka, maka apa yang bisa membatalkannya? Dan jika sebagian mujtahid mengatakan sesuatu perkataan atau mengerjakan suatu pekerjaan dan hal itu masyhur di kalangan ahlul Ijtihad dan tidak ada yang mengingkarinya dengan adanya kemampuan mereka untuk mengingkari hal tersebut, maka dikatakan hal tersebut menjadi ijma', dan dikatakan hal tersebut menjadi hujjah bukan ijma', dan dikatakan bukan ijma' dan bukan pula hujjah, dan dikatakan jika masanya telah berlalu sebelum adanya pengingkaran maka hal itu merupakan ijma', karena diam mereka (mujtahidin) secara terus-menerus sampai berlalunya masa padahal mereka memiliki kemampuan untuk mengingkari merupakan dalil atas kesepakatan mereka, dan ini merupakan pendapat yang paling dekat kepada kebenaran.
QIYAS


1. Pengertian Qiyas
a. Secara Bahasa
Secara bahasa, qiyâs merupakan bentuk masdar dari kata qâsa- yaqîsu, yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Misalnya, "Fulan meng-qiyaskan baju dengan lengan tangannya", artinya mengukur baju dengan lengan tangannya; artinya membandingkan antara dua hal untuk mengetahui ukuran yang lain. Secara bahasa juga berarti "menyamakan", dikatakan "Fulan meng-qiaskan extasi dengan minuman keras", artinya menyamakan antara extasi dengan minuman keras.[1]
Dalam perkembanganya, kata qiyâs banyak digunakan sebagai ungkapan dalam upaya penyamaan antara dua hal yang berbeda, baik penyamaan yang berbentuk inderawi, seperti pengkiasan dua buah buku. Atau maknawiyah, misalnya "Fulan tidak bisa dikiaskan dengan si Fulan", artinya tidak terdapat kesamaan dalam ukuran.
b. Secara Istilah
Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama.
Sadr al-Syari'ah (w. 747 H), tokoh ushul fiqh Hanafi menegmukakan bahwa qiyâs adalah :
"Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu' disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja".
Maksudnya, 'illat yang ada pada satu nash sama dengan 'illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan 'illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.
Imama Baidhowi dan mayoritas ulama Syafi'iyyah[2] mendefinisikan qiyâs dengan :

"Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.".
DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyâs dengan [3]:
"Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya".
Biarpun terjadi perbedaan definisi terminologi antara ulama klasik dan kontemporer tentang qiyâs, namun mereka sepakat bahwa qiyâs adalah "al-Kasyf wa al-Idzhâr li al-Hukm" atau menyingkapkan dan menampakkan hukum, bukan menetapkan hukum ataupun menciptakan hukum. Karena pada dasarnya al-maqîs atau sesuatu yang dikiaskan, sudah mempunyai hukum yang tetap atau tsâbit, hanya saja terlambat penyingkapanya sampai mujtahid menemukannya dengan perantara adanya persamaan "illah.[4]

2.Rukun Qiyas

Berdasarkan pengertian secara istilah, rukun qiyâs dapat dibagi menjadi empat,[5] yaitu:
a. Al-ashlu
Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyâs, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqîs 'alaihi), dan musyabbah bih (tempat menyerupakan),[6] juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Imam Al-Amidi dalam al-Mathbu'[7] mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu yang bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri.
Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyâs dari minuman keras adalah dengan menempatkan minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas keharmannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu dibutuhkan.[8] Dengan demiklian maka al-aslu adalah objek qiyâs, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.
b. Hukmu al-ashli
Atau hukum asli; adalah hukum syar'i yang ada dalam nash atau ijma', yang terdapat dalam al-ashlu..
c. Al-far'u
Adalah sesuatu yang dikiaskan (al-maqîs), karena tidak terdapat dalil nash atau ijma' yang menjelaskan hukumnya.
d. Al-'illah
Adalah sifat hukum yang terdapat dalam al-ashlu, dan merupakan benang merah penghubung antara al-ashlu dengan al-far'u, seperti "al-iskâr".[9]



3. Syarat Qiyâs
Dari empat rukun qiyâs yang sudah diterangkan di atas, dari masing-masing rukun terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi sebagai syarat khusus sah-nya qiyâs, di antaranya adalah:
1. Syarat al-Ashlu
Ulama ulhul fiqih sepakat bahwa syarat dari al-ashlu adalah suatu hal yang pokok, dan bukan merupakan cabang dari yang lain, atau bukan cabang dari pokok (hukum) yang lain.[11]
Menurut jumhur fuqaha, bahawa qiyâs harusalah dibangun diatas dalil nash ataupun ijma', hanya saja terjadi perbedaan pendapat di antara mereka tentang bolehnya qiyâs yang didasarkan atas ijma'. Sebagian ulama yang tidak setuju mengatakan bahwa qiyâs didasarkan dari 'illah yang menjadi dasar disyariatkannya hukum asli, dan hal ini tidak memungkinkan dalam ijma', karena ijma' tidak diharuskan disebutkan adanya wakil (al-far'u). Maka apabila tidak disebutkan al-far'u-nya, tidak mungkin untuk bisa diketahui 'illah qiyâs-nya.[12]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar